Online Support Center

Yanto

Ariel

Ripay

Benny

Jeffry

Diaz







Statistik User

013716

Pengunjung hari ini : 45
Total pengunjung : 3534

Hits hari ini : 233
Total Hits : 13716

Pengunjung Online: 2

 

Rabu, 21 Juli 2010
Anatomi Pengguna Pengadilan Agama Dibedah Kembali
Ditulis Oleh : Administrator


Jakarta l badilag.net

Sembilan dari sepuluh perempuan kepala keluarga tidak dapat mengakses pengadilan untuk perkara perceraian mereka. Biaya perkara dan ongkos transportasi ke pengadilan masih menjadi hambatan utama.

Kesimpulan itu mengemuka dalam laporan hasil penelitian Akses Terhadap Keadilan: Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga Indonesia. Penelitian ini merupakan hasil kerjasama antara Mahkamah Agung, PEKKA dan lembaga penelitian SMERU. Penelitian ini didukung oleh pemerintah Australia melalui Ausaid dan The Family Court Australia.

Peluncuran laporan ini digelar di Jakarta, Senin (19/7/2010). Acara ini dihadiri Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa, Dirjen Badilag Wahyu Widiana, Direktur Koordinasi Pemerintahan dan Kebijakan Demokratis Ausaid Victoria Coackley, CEO Family Court of Australia Richard Foster, Penasehat Australia Justice Program-Transition Cate Summer, perwakilan Bappenas dan BPS serta penggiat LSM.

Koordinator Sekretariat Nasional PEKKA, Nani Zulminarni, mengatakan bahwa 88 % perempuan kepala keluarga menyatakan termotivasi untuk memperoleh perceraian yang sah hika biaya perkara dibebaskan alias prodeo. “Selain itu, 89 % menyatakan akan lebih termotivasi untuk memperoleh perceraian yang sah jika perceraian bisa dilakukan melalui sidang keliling,” ujar Nani.

Hasil penelitian ini juga menyimpulkan, perkawinan dan perceraian di bawah tangan masih marak di keluarga miskin. Lebih dari 50% perempuan yang menjadi kepala keluarga melakukan pernikahan mereka di bawah tangan. Terungkap pula, tiga dari sepuluh perempuan yang kemudian menjadi kepala keluarga akibat perceraian ternyata menikah di saat mereka masih di bawah 16 tahun.

“Karena sebagian besar mereka melakukan pernikahan di bawah tangan, maka mereka juga bercerai di bawah tangan,” kata Nani. Akibatnya, perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak-anak yang dihasilkan dalam perkawinan tersebut sangat lemah. Perempuan tidak bisa mendapatkan harta bersama dan anak-anak yang dilahirkan tidak bisa mendapatkan akte kelahiran.


Ketua MA Harifin A Tumpa menerima laporan hasil penelitian yang diserahkan Ketua Federasi PEKKA Penia Yuliarti.

Nani juga mengungkapkan, 79 % perempuan kepala keluarga yang dapat mengakses pengadilan untuk mengurus perceraian merasa sangat puas atas pelayanan yang diberikan pengadilan.

Penelitian ini dilaksanakan di Aceh, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat. Secara keseluruhan, penelitian ini mencakup 750 survei serta diskusi mendalam dengan pemerintah, pejabat pengadilan dan anggota PEKKA.

Anggota PEKKA adalah perempuan yang menjadi kepala keluarga karena suami meninggal, cerai hidup, ditelatarkan atau tidak menikah. Perempuan yang menikah tetapi menghidupi keluarga karena suami sakit, cedera, tidak dapat bekerja atau bekerja di luar negeri dan suaminya tersebut tidak membiayai kebutuhan ekonomi keluarga juga dapat mejadi anggota PEKKA.

Disambut Positif

Ketua MA Harifin A Tumpa menyambut gembira hasil penelitian ini. Menurutnya, laporan ini sangat membantu pemerintah, lembaga peradilan dan intansi lain. Bagi lembaga peradilan, laporan ini dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya pentingnya pelayanan, khususnya kepada masyarakat miskin.

“Tentu penelitian ini tidak akan ada tanpa kerja sama yang baik antara pemerintah Australia, PEKKA, dan MA-RI. Hal ini harus kita apresiasi dengan sungguh-sungguh,” ujar Harifin.

Harifin menegaskan, adalah hak setiap orang untuk memperoleh keadilan. Hal itu secara tegas dijamin negara melalui konsitusi. Namun, kenyataannya tidak semudah yang diharapkan. Masyarakat miskin masih terkendala dalam mengakses keadilan. Mereka terbentur masalah dana. Padahal, di hadapan hukum, sesungguhnya kedudukan mereka setara dengan masyarakat lain.

Harifin menambahkan, kemiskinan sering menimbulkan masalah hukum. Percekcokan rumah tangga banyak disebabkan faktor ekonomi. Kebahagiaan sebagaimana diamanatkan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak tercapai. Bahkan karena faktor lemahnya ekonomi, ada seorang ibu yang tega membunuh anaknya.

“Dengan adanya hasil penelitian ini, mudah-mudahan masyarakat luas semakin terbantu dalam akses terhadap keadilan,” kata Harifin.


Dirjen Badilag Wahyu Widiana (duduk ke-3 dari kiri) hadir dalam acara ini.

Mewakili pemerintah Australia, Victoria Coackley juga merespon positif hasil penelitian ini. “Pemerintah Australia bangga telah membantu penelitian ini,” ujarnya.

Dia menandaskan, penelitian ini hanya sebagian dari yang dibantu pemerintah Australia dalam program Acces To Justice. Sebelumnya, pemerintah Australia juga menyokong penelitian serupa yang pernah dilakukan pada 2007 dan 2009.

(hermansyah)

[ Kembali ]
0 Komentar :

Isi Komentar :
Nama :
Website :
Komentar
 
  (Masukkan 6 kode diatas)